Minggu, 04 September 2011

~Sarimin~

Sarimin tidak habis pikir mengapa pecut masih saja mengoyak tengkuknya meski kesetiaan telah ia lakoni sepanjang peradaban, mengapa pula nasibnya harus tergantung pada iseng belaka orang di kota.
Maka ia pun pergi ke pasar – di mana rasa lapar telah lama digelar menjadi luka menganga dan kejujuran kesetiaan hanyalah keterpaksaan.
Sarimin berteriak tawarkan jantungnya.  Jajakan hatinya. Tetapi pasar pecah berubah      rusu h. Sarimin terhimpit terinjak oleh berbagai unjuk rasa. Entah rasa apa, sebab poster dan spanduk yang diarak sudah kabur oleh darah ludah serta serapah nista dari lidah yang bercabang-beranting. Aroma dendam dan dengki dikelangitkan menjadi satu. Merah darah, merah api!
Sarimin terser et makin jauh masuk kota. Ia saksikan orang-orang marah  memburu tikus-tikus buron ke belantara hukum. Tunas-tunas muda gagah berani berteriak sungsang melintang di pasal-pasal perempatan sambil ramai-ramai kangkangi rambu.
Semakin bingung, Sarimin kesasar ke plaza. Di sini orang masih saja ingin membeli kendati tak ada lagi yang mau menjual.
Cobalah bersabar, kata Sarimin berdamai dengan diri sendiri, masih ada sisa doa yang belum pecah terinjak di pasar. Tetapi siapa percaya doa bukan serapah? Siapa percaya kebajikan bukan akal bulus belaka?
Sarimin nelangsa. Sepotong mimpinya telah menjadi santapan lezat para pakar di televisi. Keadilan tinggal sebatas bahan seminar orang-orang gardu muka yang semalaman tidak tidur merancang surat kaleng. Cuaca pada kaca buram berembun hanya menyuguhkan wajah tak bermuka kendati masih berdasi.
Sarimin minggat ke kuburan. Ingin muntah di atas makam tuan lama yang kini diziarahi bagai pahlawan sejati meski semasa hidup belakangan tak lagi punya nyali bertemu Sarimin. Sebab hari-harinya sepanjang dusta. Nafas dan kentutnya merusak ozon. Jazadnya meracuni tanah hingga cacing dan belatung pun tak sudi menyentuhnya.
Sarimin menangis. Ia pergi ke pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar